Dinasti Buwaih : Kebijakan Politik

Kebijakan Politik Dinasti Buwaih | Islam memiliki sejarah yang cukup panjang. Di antara sejarah panjang tersebut, umat islam pernah kejayaan di beberapa periode, salah satunya Bani Abbasiyah. Namun perputaran roda selalu terjadi di setiap masa atau periode. Begitu pula Bani Abbasiyah.

Setelah masa keemasannya, Bani Abbasiyah memasuki babak baru yaitu masa kehancuran. Perpecahan dan kemerdekaan muncul di wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah. Peristiwa kemerdekaan tersebut dapat dilihat di daerah Khurasan, Sijistan, Jarjan, dan Dailam. Kemerdekaan tersebut sempat berhasil diredam oleh al-Muwafaq. Namun khalifah-khalifah sesudahnya tidak bisa menumpas gerakan kemerdekaan tersebut.

Kekacauan ini bertambah dengan ketidakmampuan para khalifah untuk mengendalikan situasi di Irak. Bahkan, tren tersebut telah sampai kepada kemerdekaan yang benar-benar terpisah dari khilafah Abbasiyah. Dalam artikel singkat ini, penulis ingin membahas perpecahan yang timbul di wilayah timur terutama yang dilakukan oleh orang Turki dan Persia yaitu Bani Buwaih.

Peta Bani Buwaih
Kebijakan Politik Bani Buwaih

Kebijakan-kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Bani Buwaih, khususnya dalam bidang politik, dapat kita cermati dari beberapa persitiwa yang terjadi. Dalam bidang politik, mereka memang tidak menjadi khalifah pengganti Bani Abbasiyah melainkan mengendalikan mereka.

Bani Buwaih memberikan jatah khalifah kepada Bani Abbasiyah namun tidak memberikan kekuasaan penuh misalnya mereka melarang khalifah memeproleh pendapatan yang kemudian diambil Bani Buwaih sendiri. Khalifah hanya simbol belaka. Khalifah tidak berhak mengangkat sekretaris dan menteri karena yang memiliki otoritas hanya pemimpin Bani Buwaih. Selain itu, jika mereka ingin menggulingkan atau menggantikan khalifah, mereka akan memerntahkan orang-orang Dailam untuk mengambil singgasana tersebut.  

Selain kebijakan tersebut, Bani Buwaih memiliki masalah dalam pemerintahan antara memihak Dailam dan Turki. Kadang Bani Buwai berpihak kepada satu kelompok dan kadang kepada kelompok lain. Hal ini menyebabkan pertikaian yang berkepanjangan.

Bani Buwaih tidak memiliki pengalaman mengurus negara sebagaimana mestinya. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya program kenegaraan yang bersifat luas. Terutama masalah ekonomi, Bani Buwaih dipandang merosot dalam hal ekonomi. Indikatornya perbendaharan khalifah tidak memadai akhirnya Bani Buwaih memberikan tanah kepada para tentara. Meskipun sistem perpajakan sudah diterapkan, kas negara tetap saja kurang. Tentara yang memiliki tanah akan memberikan pajak jika hasil bumi melimpah, sebaliknya jika tidak maka mereka mengembalikannya ke baitul Mal.

Kebijakan dan kondisi Bani Buwaih mengalami perbaikan saat dipimpim Adhud al-Dawlah. Dia dianggap sebagai raja terbaik Bani Buwaih. Dia memiliki beberapa program untuk meningkatkan ekonomi misalnya memperbaiki saluran air, menghilangkan kezaliman, dan melakukan pembangunan.

Selain itu, Adhud juga berhasil mempersatukan beberapa kerajaan kecil yang sudah muncul sejak periode Bani Buwaih di Persia dan Irak sehingga dapat membentuk suatu negara yang menyerupai imperium. Adhud menikahi putri khalifah al-Tha‘i dan menikahkan anaknya sendiri dengan khalifah dengan tujuan memiliki keturunan yang dapat meneruskannya.

Dalam masa pemerintahan Adhud pula, dunia literatur dan sastra mengalami perkembangan pesat ditandai munculnya beberapa pakar sastra seperti al-Mutanabbi dan ontolog yaitu Abul Faraj al-Ishfahani.

Pada saat awal menguasai Abbasiyah, Bani Buwaih dikenal dengan madzhab Syiah Zaidiyyah dan seharusnya mereka mengangkat seorang khalifah dari Syiah Zaidiyyah namun faktanya berbicara lain yaitu mereka tetap menerima kepemimpinan Abbasiyah yang bermadzhab Sunni.

Hal ini disebabkan hasil musyarawah Bani Buwaih dengan beberapa orang yang menunjuk khalifah dari keluarga Ali. Mereka mengingatkan jika khalifah dari keluarga Ali akan menjadikan mereka sebagai pembantu. Sebaliknya jika menunjuk Abbasiyah maka mereka dapat berbuat sesuka hati layaknya pemimpin. Oleh sebab itulah, Ahmad bin Buwaih tetap menunjuk Bani Abbasiyah sebagai khalifah.

Pada bulan Januari 946, khalifah al-Mustakfi digulingkan oleh Muizz al-Dawlah yang kemudian menunjuk al-Mu‘thi sebagai khalifah baru. Kemudian festival atau perayaan syiah diselenggarakan terumata perayaan berkabung kematian Husayn.






Baca juga :

Subscribe untuk mendapat email artikel terbaru:

0 Response to "Dinasti Buwaih : Kebijakan Politik"

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca artikel ini. Bila berkenan, Anda bisa tinggalkan komentar. Semoga komentar-komentar baik Anda diberi balasan oleh Allah...